Kuliah Akuntansi

Archive for the ‘Manajemen’ Category

Pengertian
Koperasi tradisional atau Hanel (1985) menyebutnya dengan “Koperasi Historis”, berkembang di Eropa di akhir abad 18 sampai 19. Pertumbuhannya berdasarkan naluri solidaritas kelompok atau suku bangsa tertentu. Dengan menggunakan pendekatan pengelolaan sederhana namun berhasil menanamkan prinsip pemanfaatan bersama atas sumberdaya produksi Yang tersedia.
Akan tetapi dalam perkembangan masyarakat memiliki karakteristik dinamis. Dinamika dan ciri kompetitif ternyata kurang terwadahi dalam Koperasi tradisional. Koperasi tidak dapat tumbuh dalam “kerangka dan suasana” tradisional seperti masa lalu. Persaingan telah menuntut tersedianya rancangan strategi-strategi dan kiat-kiat tertentu agar dapat eksis dan turut terlibat dalam kancah persaingan yang semakin ketat. Untuk itu diperlukan pengetahuan yang cukup tentang faktor-faktor atau variabel-variabel yang terkait dengan keberhasilan dan kegagalan koperasi. Strategi-strategi alternatif ini membutuhkan hipotesis-hipotesis, teori-teori, dalil-dalil serta informasi lain yang teruji secara baik. Sumber utama pengetahuan yang perlu digunakan dalam membangun sebuah institusi adalah pengetahuan “teoritikal” yang dapat menerangkan berbagai realitas empirikal.
Reformasi dan reaktualisasi pemikiran tentang koperasi terletak pada nilai instrumental yang operasional. Secara normatif perubahan itu hampir tidak mengusik eksistensi koperasi sebagai institusi penghimpun kekuatan mandiri. Hal itu dapat ditelaah pada batasan koperasi dari berbagai aliran yang ada. Para pakar dan peneliti serta ketentuan perundang-undangan nasional telah menggariskan batasan berdasarkan cara pandang dan kepentingan yang dihadapi, namun makna dasar koperasi tidak banyak berubah.

Pendapat mengenai definisi koperasi dikemukakan oleh para pendukung pendekatan esensialis, institusional, maupun nominalis (Hanel, 1985,27).
1. Pendekatan esensialis, memandang koperasi atas dasar suatu daftar prinsip yang membedakan koperasi dengan organisasi lainnya. Prinsip-prinsip ini di satu pihak memuat sejumlah nilai, norma, serta tujuan nyata yang tidak harus sama ditemukan pada semua koperasi.
2. Pendekatan institusional, dalam mendefinisikan koperasi berangkat dari kriteria formal (legal). Menurut pendekatan ini: “Semua organisasi disebut koperasi jika secara hukum dinyatakan sebagai koperasi, jika dapat diawasi secara teratur dan jika dapat mengikuti prinsip-prinsip koperasi”. (Munkner, 1985,18).
Pendekatan nominalis, dengan pelopornya para ahli ekonomi koperasi dari Universitas Philipps-Marburg, merumuskan pengertian koperasi atas dasar sifat khusus dari struktur dasar tipe sosial-ekonominya.
3. Pendekatan nominalis, koperasi dipandang sebagai organisasi yang memiliki empat unsur utama (Hanel, 1985,29), yaitu:
1. Individual are united in a group by-at least one common interest or goal (COOPERATIVE GROUP);
2. The individual members of the cooperative group intend to pursue through joint actions and mutual support, among other, the goal of improving their economic and social situation (SELF-HELP OF THE COOPERATIVE GROUP);
3. The use as an instrument for that purpose a jointly owned and maintained enterprise (COOPERATIVE ENTERPRISE);
4. The cooperative enterprise is charged with the perfomance of the (formal) goal or task to promote the members of the cooperative group through offering them directly such goods and services, which the members need for their individual economics – i.e. their houshold (CHARGE OR PRINCIPLE OF MEMBER PROMOTION).

Penjelasan itu memberikan petunjuk bahwa dalam organisasi koperasi melekat secara utuh lima unsur, yaitu: (a) anggota-anggota perseorangan, (b) kelompok koperasi, yang secara sadar bertekad melakukan usaha bersama dan saling membantu demi perbaikan kondisi ekonomi dan sosial mereka, melalui, (c)perusahaan koperasi, yang didirikan secara permanen dimiliki dan dibina secara bersama sehingga tercipta suatu, (d) hubungan pemilikan antara kelompok koperasi dan perusahaan koperasi yang mengarahkan adanya promosi anggota atau hubungan usaha yang saling menunjang antara kegiatan ekonomi anggota individu dengan perusahaan koperasi.

Dalam organisasi koperasi terdapat prinsip atau norma identitas ganda, anggota di samping sebagai pemilik sah, juga adalah pemilik atau pelanggan jasa yang diusahakan oleh koperasi. Di samping itu, dalam organisasi koperasi terdapat dua perusahaan (double nature), yaitu perusahaan, atau kegiatan ekonomi, anggota secara individu dan perusahaan koperasi yang dimiliki anggota secara bersama-sama.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa koperasi dilihat dari substansinya adalah suatu sistem sosial-ekonomi, hubungan dengan lingkungannya bersifat terbuka, cara kerjanya adalah suatu sistem yang berorientasi pada tujuan, dan pemanfaatan sumber dayanya adalah suatu organisasi ekonomi yang unsurnya mencakup: anggota-anggota perseorangan, perusahaan atau kegiatan ekonomi anggota secara individu, kelompok koperasi, perusahaan koperasi, dan hubungan pemilikan serta hubungan usaha atau pelayanan perusahaan koperasi kepada para anggotanya.
Dari penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa koperasi memiliki ciri-ciri yang khas sebagai sebuah organisasi. Koperasi lahir dengan memiliki tiga unsur pokok yakni, (a) kerjasama dua orang atau lebih, (b) tujuan yang akan dicapai, (c) kegiatan yang dikoordinir secara sadar.

Pendekatan nominalis dalam merumuskan pengertian koperasi, di samping telah dapat menunjukkan ciri-ciri esensial koperasi yang dapat dikaji secara ilmiah, tetapi juga telah dapat memberikan penjelasan yang cukup rinci mengenai perbedaan koperasi dengan organisasi ekonomi lain yang bukan koperasi. Maman (1989,19) membedakan koperasi dengan organisasi usaha non-koperasi, dengan melihat lima (5) hal yakni: (a) sifat keanggotaan, (b) pembagian keuntungan, (c) hubungan personal antara organisasi dan manajer, (d) keterlibatan pemerintah dalam penciptaan stabilitas dan operasi, dan (e) hubungan organisasi dan masyarakat.
Peran anggota merupakan indikator penting dalam mendefinisikan koperasi secara universal dengan tidak dibatasi oleh visi politis maupun kondisi sosial ekonomi kelompok masyarakat di mana koperasi itu hidup. Kedua peran tersebut menjadi kriteria identitas (identity criterion) bagi koperasi. Peran atau identitas ganda (dual identity) koperasi menunjukkan bahwa yang melakukan kerja sama (cooperation) adalah manusia atau anggotanya. Baik pada saat mengelola maupun pada saat memanfaatkan hasil usaha koperasi.

Pada kasus Indonesia, koperasi sebagai badan usaha yang dimiliki dan dimanfaatkan oleh anggota, di tegaskan dalam Undang-undang nomor 25 tahun 1992. Batasan koperasi dalam perundangan ini memiliki makna yang lebih tegas dan jelas dibanding batasan lama, dalam Undang-undang No.12 tahun 1967, yang memungkinkan terciptanya pemikiran ganda tentang koperasi. Undang-undang nomor 25 tahun 1992 mengakomodasi perubahan tataran instrumental seperti dengan diaturnya “Pengelola” atau manajer dalam pengelolaan organisasi dan usaha koperasi.
Koperasi seperti badan usaha lainnya memiliki keleluasaan gerak dalam menjalankan usaha selama tidak menyalahi ketentuan perundang-undangan dan idielogi normatif yang ada. Usaha merupakan proses rasional yang akhirnya bermuara pada penciptaan keuntungan (profit), akumulasi keuntungan tersebut digunakan untuk melayani kebutuhana anggota. Dengan demikian, usaha koperasi dapat dilaksanakan selama memperhatikan dua hal pokok, yakni:
(1) Usaha yang dijalankan selaras dengan kebutuhan anggota dan sejauh mungkin mengandung unsur pemberdayaan (empowering) bagi usaha anggota.
(2) Keuntungan usaha dialokasikan untuk anggota selaras dengan jasa yang diberikan anggota pada usaha koperasi.
Perhatian terhadap kesejahteraan masyarakat selain anggota sesuai dengan tujuan koperasi Indonesia, seperti tertuang dalam pasal 3 Bab II Undang-undang nomor 25 tahun 1992, yakni, memajukan kesejahteraan anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya serta ikut membangun tatanan ekonomi nasional dalam rangka mewujudkan masyarakat yang maju, adil, dan makmur berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pelaksanaan organisasi dan manajemen koperasi didasari oleh prinsip koperasi, prinsip tersebut berisi, (a) keanggotaan bersifat sukarela dan terbuka, (b) pengelolaan dilakukan secara demokratis, (c) pembagian sisa hasil usaha (SHU) dilakukan secara adil sebanding dengan besarnya jasa usaha masing-masing anggota, (d) pemberian balas jasa yang terbatas terhadap modal, (e) Kemandirian. Di samping prinsip yang mengikat intern organisasi, koperasi memiliki prinsip lain yang berkaitan dengan ekstern organisasi yakni, (a) pendidikan perkoperasian, (b) kerjasama antar koperasi.
Pembahasan di atas menunjukkan koperasi dapat dilihat sebagai unit usaha (dimensi mikro) dan sistem ekonomi (dimensi makro). Dalam dimensi mikro, koperasi memiliki kewajiban dan hak yang sama dengan pelaku ekonomi lainnya. Dalam dimensi makro, koperasi adalah faham atau idielogi yang harus menjadi panutan bagi pelaku ekonomi nasional.
Pemahaman tentang kedua hal itu dapat menghindarkan diri dari pemikiran yang keliru terhadap konsep “Koperasi sebagai soko guru ekonomi”.

Dimensi mikro mengandung konsekuensi, koperasi sebagai organisasi ekonomi yang memiliki keharusan menangani usaha berdasarkan prinsip efisiensi, efektivitas dan produktivitas. Hanya dengan itu koperasi tetap hidup dan mampu mengembangkan diri melalui akumulasi kekayaan (asets) sebagai prasyarat untuk memberikan pelayanan lebih baik bagi anggota. Khususnya dalam pemanfaatan faktor-faktor produksi yang persediannya terbatas. Dalam konteks ini koperasi memiliki berbagai kesamaan dengan badan usaha lainnya. Selaras dengan tujuan koperasi, maka prinsip efisiensi dan efektivitas untuk mewujudkan produktivitas yang tinggi harus dipadukan dengan optimasi pelayanan kepada usaha dan kesejahteraan anggota.

Sistem ekonomi yang bernuansa kemanfaatan bersama/ kerakyatan.
Koperasi sebagai sistem sosial merupakan gerakan yang tumbuh berdasarkan kepentingan bersama. Ini mengandung makna dinamika koperasi harus selaras dengan tujuan yang telah ditetapkan bersama. Semangat kolegial perlu dipelihara melalui penerapan musyawarah dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks itu, koperasi merupakan organisasi swadaya (self-helf organization) akan tetapi tidak seperti halnya organisasi swadaya lainnya, koperasi memiliki karakteristik yang berbeda.
Mengkaji koperasi sebagai badan usaha dan organisasi swadaya adalah untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang posisi manusia dalam konstelasi sistem koperasi. Koperasi menempatkan faktor “manusia” sebagai elemen penting dalam sistem keorganisasian. Manusia anggota merupakan sentral pengembangan yang berposisi penting dalam proses peningkatan kesejahteraan.

Manajemen Koperasi
Tugas manajemen koperasi adalah menghimpun, mengkoordinasi dan mengembangkan potensi yang ada pada anggota sehingga potensi tersebut menjadi kekuatan untuk meningkatkan taraf hidup anggota sendiri melalui proses “nilai tambah”. Hal itu dapat dilakukan bila sumberdaya yang ada dapat dikelola secara efisien dan penuh kreasi (inovatif) serta diimbangi oleh kemampuan kepemimpinan yang tangguh.

Manajemen koperasi memiliki tugas membangkitkan potensi dan motif yang tersedia yaitu dengan cara memahami kondisi objektif dari anggota sebagaimana layaknya manusia lainnya. Pihak manajemen dituntut untuk selalu berpikir selangkah lebih maju dalam memberi manfaat dibanding pesaing hanya dengan itu anggota atau calon anggota tergerak untuk memilih koperasi sebagai alternatif yang lebih rasional dalam melakukan transaksi ekonominya.

Rumusan manfaat bagi setiap orang akan berbeda hal itu tergantung kepada pandangan hidup terhadap nilai manfaat itu sen-diri. Motif berkoperasi bagi sementara orang adalah untuk memperoleh nilai tambah ekonomis seperti, me-ningkatnya penghasilan atau menambah kekayaan (aset) usaha. Tetapi bagi sebagian orang menjadi anggota koperasi bukan karena adanya dorongan materi atau alasan finansial akan tetapi semata-mata untuk kepuasan batin saja atau alasan ideal lainnya.

Untuk menjaga momentum pertumbuhan usaha maupun perkembangan koperasi pada umumnya pihak manajemen perlu mengupayakan agar koperasi tetap menjadi alternatif yang menguntungkan, dalam arti lain manajemen koperasi harus mampu mempertahankan manfaat (benefit) koperasi lebih besar dari manfaat yang disediakan oleh non-koperasi. Atau koperasi harus selalu mengembangkan keunggulan kompetitif dan komparatif dalam sistem manajemen yang dikembangkannya.

Perangkat organisasi koperasi sebagaimana diatur dalam pasal 21 Undang-Undang Perkoperasian Nomor 25 tahun 1992 terdiri atas, (a) rapat anggota, (b) pengurus, dan (c) pengawas.
Ketiganya dalam organisasi koperasi memiliki tugas mengembangkan kerjasama sehingga membentuk suatu kesatuan sistem pengelolaan. Untuk menuju ke arah itu diperlukan komitmen unsur-unsur tersebut terhadap sistem kerja yang telah disepakati bersama.

Rapat anggota merupakan kolektivitas suara anggota yang merupakan pemilik organisasi dan juga merupakan pemegang kekuasaan tertinggi. Ide-ide dan kebijakan dasar dihasilkan dalam forum ini. Anggaran dasar dan anggaran rumah tangga, anggaran pendapatan dan belanja, pokok-pokok program dan ketentuan-ketentuan dasar dibuat berdasarkan musyawarah anggota, yang selanjutnya dilaksanakan oleh pengurus atau manajer dan pengawas. Secara sistimatis Roy (1981,426) menunjuk kekuasaan dan tanggungjawab anggota.

Sehubungan dengan beratnya kewajiban yang harus diemban anggota, maka sistem penerimaan keanggotaan se-layaknya menggunakan standar minimal kualifikasi. Standar minimal kualifikasi tersebut berhubungan dengan tingkat minimal pemahaman calon anggota terhadap hak, tanggung jawab dan kewaji-ban selaku anggota. Dengan demikian memungkin-kan anggota memiliki pengetahuan yang relatif sama menge-nai organisasi dan tujuan yang hendak dicapai. Penetapan standar minimal kualifikasi tidak bertentangan dengan prinsip “keanggotaan terbuka” karena pada dasarnya memung-kinkan setiap orang untuk menjadi anggota, akan tetapi sebelum pendaftaran dilakukan setiap anggota perlu memiliki wawasan minimal sebagai anggota. Untuk keperluan itulah diperlukan pendidikan dasar bagi calon anggota. Standar minimal kualifikasi tersebut menyangkut pemahaman dan ketertautan diri terhadap isi anggaran dasar dan ang-garan rumah tangga serta ketentuan lain dalam organisasi.

Pengurus adalah orang-orang yang dipercaya oleh rapat anggota untuk menjalankan tugas dan wewenang dalam menjalankan roda organisa-si dan usaha. Sehubungan dengan hal itu, maka pengurus wajib melaksanakan harapan dan amanah anggota yang disampaikan dalam forum rapat anggota. Pengurus perlu menjabarkan kehendak anggota dalam program kerja yang lebih teknis.
Pasal 30 dalam perundang-undangan yang sama telah menetapkan tugas pengurus adalah (a) mengelola koperasi dan usahanya, (b) mengajukan rancangan rencana kerja serta rancangan rencana Anggaran pendapatan dan belanja koperasi, (c) menyelengga-rakan rapat anggota, (d) mengajukan laporan keuangan dan pertang-gungjawaban pelaksanaan tugas, (e) memelihara daftar buku anggota pengurus.

Selain tugas seperti di atas pengurus pun memiliki kewenangan, untuk, (a) mewakili koperasi di dalam dan di luar pengadilan, (b) memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar, (c) melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggungjawabnya dan keputusan rapat anggota. Untuk terlaksananya tugas tersebut, pengurus dibantu oleh pengelola dan karyawan lainnya.

Mengenai kehadiran pengelola telah diatur dalam pasal 32, yang berisi ketentuan sebagai berikut, (a) pengurus koperasi dapat mengangkat pengelola dan diberi wewenang dan kuasa untuk mengelola usaha, (b) dalam hal pengurus koperasi bermaksud untuk mengangkat pengelola, maka rencana pengangkatan tersebut diajukan kepada rapat anggota untuk mendapat persetujuan, (c) pengelola bertanggungjawab kepada pengurus, (d) pengelola usaha oleh pengelola tidak mengurangi tanggungjawab pengurus sebagaimana ditentukan dalam pasal 31.
Pengangkatan pengelola dan karyawan didasarkan pada tingkat kebutuhan dan tuntutan yang diha-dapi oleh masing-masing koperasi. Pada umumnya pengangkatan sering disebabkan karena alasan-alasan, (a) organisasi semakin besar dan kompleks, (b) biasanya pemilihan pengurus karena alasan “personality”, bukan berdasarkan keahlian, (c) masa kerja pengurus terbatas, (d) mengurus koperasi ditempatkan sebagai kerja sambilan, (d) sulit memisahkan antara kepentingan, sebagai anggota yang menjalankan usaha pribadi dengan kepentingan sebagai pengurus yang harus mengelola perusahaan koperasi, atau (e) kurang memiliki waktu dan keahlian.

Pengelola perlu memiliki berbagai kompetensi dan sikap tertentu untuk menjalankan fungsinya. Diantaranya adalah sikap terbuka terhadap hal-hal atau penemuan-penemuan baru (inovasi) yang mendukung jalannya tugas keorganisasian dan usaha. Malahan lebih dari pada itu harus terangsang untuk mencari terobosan-terobosan baru yang belum ditemukan oleh pesaing. Sikap yang terlalu toleran terhadap cara-cara lama sampai batas tertentu akan sangat membahayakan terhadap eksistensi dan daya hidup koperasi. Hal yang harus disadari oleh pengelola hasrat anggota maupun konsumen bukan anggota selalu dalam keadaan dinamis, walau arah dinamika itu tidak selalu berjalan ke muka, tetapi mungkin akan kembali ke semula. Dengan demikian esensi inovasi dapat diklasifikasi dengan: (a) menerima dan menerapkan cara atau teknologi yang sama sekali baru, (b) memodifikasi cara atau teknologi lama sehingga terkesan baru, (c) menerapkan cara baru dari tekbologi lama.
Sikap lain yang harus dimiliki pengelola hubungannya dengan usaha adalah kemampuan dalam menghimpun modal. Menarik modal, baik dari dalam maupun luar, bukanlah pekerjaan ringan mengingat hal itu sangat berhubungan dengan kepercayaan pihak anggota maupun pihak non-anggota terhadap koperasi. Memposisikan usaha yang dijalankan sebagai sarana investasi rasional merupakan tanggungjawab pengelola.

Kepemimpinan merupakan kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang pengelola. Data empiris menyatakan sikap ini masih tergolong rendah di kalangan pengelola terutama KUD. Tanpa sikap ini, pengelola tidak lebih dari karyawan biasa yang menggantungkan hidup dari koperasi. Terakhir adalah kemampuan manajerial yang berhubungan dengan kebersediaan dan ketersedian pengelola untuk melaksanakan fungsi manajemen secara proporsional dan profesional sehingga apa yang dikerjakan merupakan hasil kerja yang terurut dan terukur.

Pengawas atau badan pemeriksa adalah orang-orang yang diangkat oleh forum rapat anggota untuk mengerjakan tugas pengawasan kepada pengurus. Tiga hal penting yang diawasi dari pengurus oleh pengawas, yakni: (a) keorganisasian; (b) keusahaan; (c) keuangan.

Tugas pengawas dalam manajemen koperasi memiliki posisi strategis, mengingat secara tidak langsung, posisi-nya dapat menjadi pengaman dari ketidakjujuran, ketidaktepatan pengelolaan atau ketidakprofesionalan pengurus. Oleh sebab itu menjadi pengawas harus memiliki per-syaratan kemampuan (kompentensi), yaitu: a) kompentensi pribadi; b) kompentensi profesional.
Kompetensi pribadi menyangkut, kharisma atau kewibawaan, kejujuran dan kepemimpinan. Kompetensi pertama ini angat ditentukan oleh personaliti yang dimiliki oleh seorang pengawas. Kompetensi ini dapat terbentuk secara alamiah tetapi juga dapat non-alamiah, misal, karena status sosial ekonomi yang dimiliki.
Kompentensi profesional menyangkut kemam-puan teknis, seperti: akuntansi, menejerial, menilai kelayakan usaha dlsb. Kompentensi terbentuk karena pengalaman dan pendidikan. Idealnya seorang pengawas memiliki dua kompentensi itu sekaligus, tetapi pengalaman empiris membuktikan sangat sulit mendapatkan pengawas dari kalangan anggota dengan kualifikasi demikian. Beberapa kasus ketidakberfungsian pengawas dalam manajemen koperasi, menjadi awal dari kekisruhan dan kemunduran koperasi secara umum. Ketidak berfungsian tersebut sering disebabkan, antara lain disebabkan, (a) kurangnya motivasi dan rasa tanggung jawab, (b) tidak memahami lapangan tugas dan wewenang yang dimiliki, (c) pada beberapa kasus kurangnya perhatian rapat anggota terhadap hasil temuan pengawas.

Ukuran Keberhasilan
Para ahli koperasi masih belum terlihat kesepakatan pendapat mengenai bagaimana dan apa ukuran efektivitas koperasi yang setepatnya. Hal itu sebagaimana diungkapkan Blumle (Dulfer dan Hamm, 1985) yakni, “ Finally let us see what co-operative science has to say, for it has been widely debating the problem of success. In current discussion about the promotional task this problem is linked up with the co-operative system of objectives and member participation. But there will be disappointment in the results of this research for anybody who approaches with hopes and analysis of the diverse attempts to make the promotional maxims operational, and to measurement co-operative success.”
Oleh sebab itu sampai saat ini mengukur efektivitas koperasi tidaklah sesederhana mengukur efektivitas organisasi atau badan usaha lain bukan koperasi. Efektivitas organisasi koperasi tidak saja semata berkenaan dengan aspek ekonomi melainkan juga akan berkenaan dengan aspek sosialnya. Akan tetapi sebagai konsekuensi logis dari kondisi koperasi yang selalu dalam keadaan bersaing dengan organisasi lain untuk mendapatkan sumberdaya maka merumuskan keberhasilan merupakan hal yang penting.
Keunggulan merupakan syarat utama untuk terlibat dalam persaingan itu. Keunggulan yang harus dimiliki senantiasa memuat dimensi koperasi sebagai unit usaha maupun gerakan swadaya. Ketangguhan dalam dimensi gerakan swadaya sangat ditentukan oleh tingkat keperdu-liaan anggota dalam fungsinya sebagai pemilik untuk turut dalam proses pengembangan Koperasi. Partisipasi anggota merupakan indikator dalam konteks. Sementara dilihat dari fungsi “badan usaha” ketangguhan koperasi diukur oleh kemampuannya dalam mengembangkan dan menguasai pasar.

Hal ini sangat ditentukan oleh kemampuan koperasi dalam meraih lebih besar potensi yang dimiliki pasar ketimbang para pesaing. Koperasi harus mampu memberi alternatif rasional bagi pelanggannya (anggota) melalui berbagai kebijakan insentif usaha maupun perbaikan dalam teknis pelayanan pelanggan. Rumusan sederhana mengenai penjelasan di atas adalah, “Koperasi berhasil bila mampu mengembangkan usaha yang dapat memberi manfaat sebesar-besarnya bagi anggota, dengan mengoptimalkan keterlibatan potensi anggota di dalam proses dan hasil usaha”. Sehubungan dengan itu Ropke (1989) berpendapat perlunya uji partisipasi (Participation-test) dan uji pasar (Market-test) untuk mengukur keberhasilan koperasi.

Kedua indikator keberhasilan bermuara pada, semakin baiknya tingkat kesejahteraan relatif anggota koperasi. Hal itu juga dikemukakan oleh Hanel (1985,76) yakni, “Advantages of cooperation and, thus, produce sufficient promotional potential for the benefit of the members”

Dalam meningkatkan kinerja pegawai karena banyak faktor yang berpengaruh pada motivasi itu.
Parter dan Miles (1974) dalam Swasto (1997) mengemukakan : tiga faktor utama yang mempengaruhi motivasi yaitu : perbedaan karateristik individu, perbedaan karateristik pekerjaan dan perbedaan karateristik organisasi atau lingkungan kerja.

Karateristik individu

Individu ialah subyek organisasi yang memiliki karakter yang berbeda-beda berdasarkan kebutuhan dan pengalamannya. Ciri-ciri itu membedakannya dari individu yang lain.

Menurut Toha (1992 : 34) individu membawa ke dalam tatanan organisasi : kemampuan, kebutuhan, kepercayaan pribadi, penghargaan dan pengalaman masa lalunya. Semua itu adalah karateristik yang dipunyai individu dan karateristik ini akan memasuki suatu lingkungan baru, yakni organisasi atau lainnya.

Sujak, (1990 : 249-250) mengatakan bahwa : karateristik individu yang berbeda-beda, meliputi kebutuhan, nilai, sikap, dan minat. Perbedaan tersebut akan dibawa oleh individu ke dalam dunia kerja sehingga motivasi setiap individu akan bervariasi.

Menurut Gibson, Invansevich dan Donnely (992 : 52) dan Ahli-ahli lainnya, karateristik individu terdiri dari :
1) Variabel psikologis (ciri kepribadian) : kebutuhan nonmaterial nilai, sikap dan minat;
2) Variabel biografis (ciri individu) : usia, kebutuhan material, masa kerja, jenis kelamin, status perkawinan, dan banyaknya tanggungan;
3) Variabel fisiologis (ciri fisik individu), yaitu ; kemampuan dasar meliputi : kemampuan intelegensia/mental dan kemampuan fisik;
4) Variabel lingkungan, yaitu : keturunan atau keluarga, kelas sosial dan kebudayaan.
Dan variabel-variabel lain dari karateristik individu yaitu : persepsi, motivasi, pengambilan keputusan, pembelajaran atau pendidikan dan kesempatan.

Berikut diuraikan diatas itu, terlihat relevansinya bahwa yang mendorong motivasi adalah :
1. Kebutuhan Materiil.
Manusia sebagai mahluk yang secara biologis memerlukan kebutuhan material untuk mempertahankan kehidupannya. Kebutuhan material tersebut dimaksud berupa : makanan, minuman, gaji, pakaian, perumahan, kendaraan, insentif atau bonus, tunjangan, santunan.

2. Usia
Dikatakan oleh Robbins, (1996 : 79) bahwa makin tua usia pekerja, makin sedikit kesempatan mendapat pekerjaan alternatif. Namun disampin itu pekerja yang tua cenderung trendah tingkat kemangkiran atau absensinya, artinya mereka hanya absen hanya jika kesehatannya teganggu (sakit).
Usia dalam kaitan pengaruhnya terhadap motivasi pegawai terletak pada kesediaan atau kesetiaannya yang lebih dibandingkan pegawai yang lebih muda dan kematangan emosi/ temperamennya nampak pada kinerja atau penampilannya. Namun, usia tidak terkait langsung dengan produktivitas.

3. Jenis Kelamin
Dalam mengamati masalah perbedaan jenis kelamin pria dan wanita ialah apakah kinerja wanita sama dengan pria? Penjelasan Robbins (1996 : 80), antara lain bahwa beberapa studi psikologis yang dilakukan menunjukkan bahwa wanita lebih besedia mematuhi otor\ita sedangkan pria lebih agresif dan lebih besar kemungkinan memiliki pengharapan sukses. Perkembangan 25 tahun ini, kadar partisipasi wanita meningkat pesat dalam angkatan kerja menyebabkan perubahan susunan peran pria dan wanita menjadi seimbang dan tidak berbeda tentang produktivitas mereka dan tingkat kepuasan kerja mereka. Dalam hal absensi dan pergantian/keluarnya dari pekerjaan masih tercatat wanita lebih tinggi dari pria. Riset ini dilakukan dilakukan di Amerika utara yang secara historis menempatkan tanggung jawab keluarga pada wanita. Misalnnya bila anak sakit, memperbaiki rumah maka wanita mengambil cuti dari kerjanya. Sejak 1970 peran pria dan wanita kedua merasa berkepentingan dalam masalah keluarga. Hal ini juga terjadi di Indonesia.

4. Status Perkawinan
Tidak ada cukup bukti atau studi bahwa perkawinan mempunyai dampak terhadap produktivitas. Bahkan tidak ada riset yang memburu keterangan tentang status selain menikah : Bujangan, janda/duda atau pasangan hidup bersama tanpa nikah serta pengaruhnya terhadap kinerja dan kepuasan kerjanya.
Namun, dari suatu riset yang konsisten, menunjukkan bahwa karyawan yang menikah lebih sedikit absensinya, mengalami tingkat pergantian yang lebih rendah, dan lebih puas dengan pekerjaannya dari pada yang bujangan Robbins (1996 : 84).
Alasannya mungkin karena perkawinan memaksakan tanggung jawab yang meningkat, dan dapat membuat suatu pekerjaan yang ajeg (steady), lebih berharga dan penting.

5. Banyaknya Tanggungan Keluarga
Sangat sedikit riset tentang hubungan antara banyaknya tanggungan yang dipunyai karyawan dengan absensi, pergantian, kepuasan kerja dengan produktivitas. Namun bukti yang kuat, menyatakan bahwa banyaknya anak dari seorang karyawan mempunyai korelasi yang positif dengan absensi dan kepuasan kerja. (Robbins, 1996 : 81).

6. Masa Kerja (pengalaman).
Masa kerja juga merupakan variabel yang ampuh dalam meramalkan pergantian karyawan. Diibuktikan, Robbins, (1996 : 81). Bahwa masa kerja pada suatu pekerjaan sebelumnya dari seorang karyawan merupakan suatu peramal yang tepat dari keluaran karyawan itu dimasa depan. Hal itu membuktikan adanya tingkat kepuasan kerja cukup mantap dari masa kerja. Hubungan masa kerja dengan kepuasan kerja adalah lebih posotif dibandingkan antara usia kronologis dengan kepuasan kerja.

7. Kebutuhan NonMaterial
Kebutuhan dapat pula dibedakan menjadi dua jenis yaitu : kebutuhan materiel dan kebutuhan nonmateriel termasuk didalamnya adalah kebutuhan nonmateriel meliputi :
a) Kasih sayang (rasa saling mengasihi satu sama lain) dan persahabatan (dapat diterima baik dalam pergaulan sesama);
b) Keamanan (merasakan perlindungan/keselamatan) ;
c) Otonomi (pemberian penghargaan untuk mengatur diri);
d) Status (pengakuan atas kedudukan/perhatian yang layak);
e) Penghargaan diri/harga diri = martabat (self esteem) Robbins, (1996 : 94). Adalah derajat atau tidak suka dari individu-individu terhadap diri mereka sendiri;
f) Prestasi (suatu dorongan dari dalam diri sendiri untuk berkarya sebaik-baiknya, bergulat dengan sukses, mengungguli standar yang ditentukan);
g) Aktualisasi, suatu dorongan untuk dapat mewujudkan jati dirinya, tumbuh dengan potensi dirinya dan dikembangkan dengan baik.

8. Nilai
Nilai yaitu harga (dalam arti taksiran); harga sesuatu (uang misalnya) jika diukur atau ditukarkan dengan yang lain; angka kepandaian (memberi angka); kadar, mutu, sedikit isi misal makanan yang tinggi kalori dan proteinnya; sifat-sifat (hal-hal) yang penting dan berguna bagi kemanusiaan. Misal nilai-nilai agama perlu kita indahkan. (Kamus Bahasa Indonesia, 1992 : 677).

Nilai mengandung unsur pertimbangan, mengemban gagasan individu, mengenai apa yang benar, baik atau yang diinginkan. Nilai mengandung atribusi isi bahwa suatu modus perilaku adalah penting dan atribusi intensitas yaitu seberapa besar atau seberapa pentingnya suatu modus perilaku. Secara hirarkis nilai-nilai seorang individu menurut intensitasnya disebut sistem nilai. Sistem nilai ini diidentifikasi oleh kepentingan relatif yang diberikan terhadap nilai-nilai kebebasan, kesenangan, hormat diri, kejujuran, kepatuhan dan kesamaan (equality).

Dalam hal ini, suatu pekerjaan misalnya, akan merupakan hal yang amat penting dan memberikan suatu nilai tertentu bagi seseorang yang secara sadar atau tidak nilai itu akan meresap menjadi standar atau kriteria yang dapat dijadikan pedoman bertindk bagi orang yang bersangkutan.
Nilai-nilai amat penting untuk mempelajari perilaku organisasi karena nilai meletakkan pondasi untuk memahami sikap dan motivasi serta nilai mempengaruhi persepsi kita dalam menjalankan manajemen yang efektif, karena nilai mempengaruhi persepsi terhadap tujuan dan cara untuk mencapai suatu tujuann tersebut. akibatnya nilai dapat memperkeruh objektifitas dan rasionalitas. Dari pola dan pengembangan struktur dan proses organisasi, sampai pada penggunaan gaya kepemimpinan tertentu dan evaluasi hasil karya bawahan, sistem nilai itu akan meresap dan mempunyai pengaruh yang besar, bagi efektifitas organisasi. Contoh : dalam suatu kepemimpinan yang sukses akan berdasarkan pada alasan bahwa manajer tidak dapat menggunakan gaya kepemimpinan tertentu, yang bertentangan dengan “struktur kebutuhan” pegawai atau orientasi nilai mereka.

Selanjutnya apabila para manajer mengevaluasi prestasi bawahan, maka pengaruh dari nilai pribadi mereka akan kelihatan amat jelas. Dari penelitian seorang ahlu riset dilaporkan bahwa para manajer akan mengevaluasi berat sebelah (tidak adil) prestasi bawahannya yang berbeda pandangannya. Dan bawahan yang memiliki nilai yang sama dengan manajer akan mendapat evaluasi yang lebih baik dari pada bawahan yang berbeda nilaimnya. Pengaruh nilai itu nampak lebih jelas dalam keputusan dengan melibatkan sedikit informasi objektif sebaliknya derajat objektifitasnya lebih besar.

Bila dalam kegiatan sehari-hari para manajer berhubungan dengan orang lain sering terjadi perbedaan pandangan mengenai apa yang benar dan apa yang salah, sehingga timbullah konflik. Misalnya : konflik antara manajer dan buruh; administrator dan pegawai tenaga lini dan staff.

9. Sikap dan perilaku
Sikap adalah pernyataan atau pertimbangan evaluasi mengenai obyek, orang atau peristiwa. Sikap mencerminkan perasaan orang terhadap sesuatu. Dan faktor yang menentukan perilaku serta erat hubungannya dengan presepsi, kepribadian, belajar dan motivasi.
Sikap didefinisikan sebagai kesiap-siagaan mental, yang diorganisasikan lewat pengalaman yang mempunyai pengaruh tertentu kepada tanggapan seseorang terhadap orang, obyek dan situasi yang berhubungan dengannya (Robbins,1992; 57).
Sikap, mempengaruhi manajer karena: (a) menentukan kecenderungan orang terhadap segi tertentu dari dunia ini; (b) memberi dasar emosional bagi hubungan interpesonal-pengenalan seseorang terhadap orang lain; (c) sikap dalam organisasi adalah bagian inti dari kepribadian. Beberapa sikap bersifat tetap atau stabil, tetapi adajuga sikap yang bersifat yang bersikap dinamis (dapat berubah) perubahan sikap tergantung pada perasaan (feeling) atau pada kepercayaan (beliefs); dan (d) sikap asumsinya tersusun dalam komponen: perilaku,afektif (perasaan = emosi) dan kognitif (persepsi = pengetahuan).

Ada banyak sumber tentang pembentukan sikap, sikap dibentuk dari keluarga, teman sejawat dalam kelompok masyarakat dan pengalaman pekerjaan sebelunmnya. Pengalaman keluarga sewaktu kecil membantu menciptakan sikap individu. Sikap anak-anak biasanya seupa dengan sikap orang tua mereka.
Apabila anak-anak mencapai umur sepuluh tahun,mereka lebih kuat dipengaruhi oleh teman sejawat/kelompok teman karena mereka ingin pengakuan/diterima oleh orang lain, mereka sedang mencari bentuk kesamaan dengan merubah sikap mengikuti sikap kelompok.

Kebudayaan, adat istiadat dan bahasa dari masyarakat juga mempengaruhi sikap. Misalnya : sikap dari orang Kanada yang berbahasa Perancis, orang Amerika terhadap orang Iran dan orang Rusia terhadap kapitalism, dan di Amerika terdapat sub-kebudayaan dalam bentuk masyarakat etnik, masyarakat kampung dan kelompok keagamaan, kesemuanya berbentuk sikap tertentu seseorang. Orang belajar dan mengetahui sikap lewat pengalaman kerja. Mereka mengembangkan sikap terhadap faktor-faktor seperti persamaan upah, evaluasi prestasi, kemampuan manajemen rancangan kerja dan keanggotaan kelompok kerja. Pengalaman masa lalu menjadikan perbedaan sikap individual terhadap hasil karya, kesetiaan dan tanggung jawab

Dalam perkembangan perilaku tiap-tiap individu memiliki kekhasan yang berbeda namun yang mendasari perkembangan perilaku itu sama, yang diasumsikan sebagai berikut:
a) Perilaku timbul karena sesuatu sebab;
b) Perilaku diarahkan kepada tujuan;
c) Perilaku yang mengarah pada tujuan dihambat oleh adanya gangguan berupa : kegelisahan, konflik dan frustasi ; dan
d) Perilaku timbul karena motivasi namun sebaliknya motivasi juga mungkin timbul karena adanya kendala.
Pada dasarnya perilaku pada semua orang adalah sama yang membedakan karena adanya perbedaan variabel/ciri-ciri psikologis, fisiologis dan lingkungan serta adanya kendala-kendala. Variabel itu semua telah ada sebelum id memasuki organisasi pekerjaan. Oleh karena itu wajarlah bila variabel-variabel tersebut amat mempengaruhi perilaku individu dalam pekerjaannya

10. Minat
Minat adalah kecenderungan hati yang tinggi terhadap sesuatu, gairah, keinginan, menyukai atau menyenangi (Kamus Bahasa Besar Indonesia, 1990). Minat adalah kecenderungan seseorang untuk tertarik atau senang terhadap sesuatu pekerjaan atau tugas-tugas jabatan (Materi Diklat Pegawai Kantor Perhutani Unit II Suarabaya , 1996 : 44)

11. Kemampuan Dasar
Kemampuan dasar adalah kemampuan, kesanggupan, kecakapan, kekuatan, kelayakan, kekayaan, kuasa untuk melakukan sesuatu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990).
Kemampuan (ability) ialah kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugas dalam suatu pekerjaan.
Kemampuan dibedakan dalam 2 (dua) jenis yaitu kemampuan intelektual dan kemampuan fisik (Materi Diklat Pegawai Kantor Perum Perhutani Unit II Surabaya)
a. Kemampuan intelektual
Kemampuan intelektual nonfisik diperlukan untuk menjalankan kegiatan mental. Ada tujuh dimensi yang paling penting ialah : kemahiran berhitung, pemahaman, (comprehension) verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang dan ingatan (Memory). Diperlukan pengujian (test) yang mengukur dimensi kemampuan intelektual (kecerdasan khusus) dan merupakan peramal yang kuat bagi kinerja.
b. Kemampuan Fisik
Kemampuan fisik ialah kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan dan keterampilan kerja.
Kemampuan intelektual yang khusus dan diperlukan untuk kinerja yang memadai pada suatu pekerjaan, bergantung pada persyaratan kemampuan dari pekerjaan itu, terlebih bagi suatu jabatan. Sukses pada suatu pekerjaan akan dipermudah atau dirintangi oleh eksistensi atau absensi dari sumber daya pendukung, maka bila ada yang tidak memadai kinerja akan mendapat pengaruh negatif. Misalnya : mahasiswa dengan kemampuan yang biasa namun belajar dengan tekun akan bis mengungguli kawannya, yang kemampuannya tinggi tetapi malas. Bekaitan dengan kemampuan ini maka kinerja karyawan merupakan fungsi dari interaksi antara kemampuan dan motivasi individu. Rumus kinerja = (A x M).

12. Persepsi
Menurut Gibson, Ivansevich dan Donnely, (1992 : 53), persepsi ialah proses pemberian arti terhadap lingkungan oleh seorang individu. Persepsi meliputi : pengetahuan, cakupan penerimaan serta penafsiran terhadap objek (stimulus/input), tanda dan pengalaman individu bersangkutan, yang diorganisasikan dengan cara tertentu sehingga dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap.

Oleh karena setiap individu memberi arti sendiri-sendiri terhadap stimulus (input) maka pemberian arti itu akan berbeda meski objek yang dilihat sama. Persepsi bertautan dengan cara mendapatkan pengetahuan khusus tentang objek/kejadian pada saat tertentu, dan terjadi kapan saja stimulus menggerakkan indera.

a) Organisasi Perseptual (Percetual Organization)
Suatu prinsip pengaturan/organisasi dalam persepsi adalah kecenderungan seseorang menyusu pola stimulus dari segi hubungan gambar-latar belakangnya (figure-ground). Faktor yang menjadi pusat perhartian disebut gambar nyata (figure) sedangkan yang dialami tetapi masih samar disebut latar belakang (ground). Tidak setiap stimulus mencapai kesadaran dengan penjelasan yang sama pada setiap orang. Sehingga pengharapan (khayalan) dapat mengaburkan persepsi, dan persepsi juga dipengaruhi oleh kecenderungan pemakaian diri sendiri sebagai ukuran penafsiran.

Beberapa riset menunjukkan :
1. Dengan mengenal diri sendiri kita lebih mudah melihat orang lain secara teliti (Gibson, Ivancevich dan Donnley, dari Norman, 1953 : 203-35).
2. Ciri khas diri sendiri mempengaruhi ciri khas yang dikenal dalam diri orang lain (Gibson, Ivancevich dan Donnley, dari Bossum dan Maslow, 1959 : 147-48).
3. Orang yang menerima dirinya sendiri lebih mungkin untuk melihat segi-segi baik orang lain (Gibson, Ivancevich dan Donnley, dari Omivake, 1954 : 443-446)
b) Faktor Situasi (The Situational Factor)
Dalam berorganisasi pegawai bekerjasama dengan pimpinan, dibatasi oleh tekanan waktu, situasi yang berlainan dan sikap, yang kesemuanya itu mempengaruhi ketelitian persepsi. Misalnya, jika pimpinan beranggapan di antara pegawai beranggapan diantara karyawan ada perbedaan status keturunan (berdarah biru/bukan) maka sikap mempersepsi seperti itu mengakibatkan terjadinya persepsi yang kurang teliti terhadap prestasi karyawan, kesetiaannya dan tanggung jawab jawabnya. Sehingga sikap demikian itu dapat menyimpangkan persepsi.
c) Kebutuhan dan Persepsi (Needs and Perception)
Persepsi juga dipengaruhi oleh adanya kebutuhan atau keinginan atau motif yang tak terpuaskan. Contoh lain : Seorang mandor ditegur karena sering terlambat datang maka ia mempersepsikan karyawan lain yang kehadirannya terlambat besok pasti juga akan ditegur. Contoh : Mahasiswa akan dapat konsentrasi belajar apabila ia tidak memiliki beban kerja atau masalah pribadi yang mengganjal. Persepsnya mahasiswa yang tsk bermasalah dapat belajar lebih baik.
d) Emosi dan Persepsi (Emotion and Perception)
Keadaan emosi seseorang memberi pengaruh pada persepsinya. Misalnya rasa benci (emosi yang kuat) akan menyebabkan seorang pegawai tidak taat terhadap kebijakan organisasi. Pimpinan perlu memperhatikan latar belakang yang paling kuat menggerakkan emosi, pada bawahannya.

13. Pendidikan
Menurut Poerwono, (1982 : 76), pendidikan merupakan suatu pembinaan dalam proses perkembangan manusia untuk berpikir sendiri dan mendorong berkembangnya proses perkembangan manusia untuk bepikir sendiri dan mendorong berkembangnya kemampuan dasar yang ada padanya. Menurut Nadler (1990 : 120-121) dalam Swasto (1996 : 26), pendidikan adalah proses pembelajaran yang mempersiapkan individu untuk pekerjaan yang berbeda pada masa yang akan datang. Pendidikan di desain untuk memungkinkan pekerjaan belajar tentang perbedaan pekerjaan dalam organisasi yang sama. Dengan demikian pendidikan karyawan penting artinya bagi suatu organisasi. Poerwono, (1982 : 74) : Untuk menjamin agar tiap bidang dalam suatu bentuk badan usaha dilaksanakan oleh tenaga-tenaga dengan kecakapan dan keahlian di bidangnya masing-masing maka telah menjadi keyakinan dalam tata personalia perlunya pendidikan.

14. Pengambilan Keputusan
Keputusan, hakekatnya adalah suatu pengambilan atau pembuatan pilihan dari antara dua alternatif atau lebih (Robbins, 1996 : 134-145).
Beberapa model pengambilan keputusan, yaitu :
a) Model Pengambilan Keputusan Optimalisasi.
Suatu model pengambilan keputusan yang menguraikan bagaimana individu seharusnya berperilaku agar memaksimalkan hasil. Dalam model ini dikenal ada enam langkah yang implisit dan eksplisit harus diketahui bila mengambil keputusan yaitu :
1. Pastikan kebutuhan akan suatu keputusan;
2. Kenali kriteria keputusan;
3. Alokasikan bobot kepada kriteria itu;
4. Kembangkan alternatif-alternatif;
5. Evaluasi alternatif-alternatif;
6. Pilih alternatif terbaik.
b) Model Pengambilan Keputusan Alternatif
Apabila problem yang dihadapi kompleks dan tidak terstruktur, mengandung ketidakpastian yang tinggi, tujuan/preferensi tidak jelas/tidak konsisten maka keputusan diambil dari salah satu/beberapa alternatif yang terbaik yang tersedia.
c) Model Cukup Memuaskan/Rasional Berikat.
Suatu model pengambilan keputusan dimana pengambilan keputusan memilih pemecahan pertama yang cukup baik, rasional dan memuaskan. Rasional berikat ialah individu-individu mengambil keputusan dengan merancang bangun model yang disederhanakan yang mengekstrak perwajahan yang mutlak perlu dari dalam problem tanpa menangkap semua kerumitannya.
d) Model Favorit Implisit
Suatu model pengambilan keputusan dimana dalam proses keputusan, pengambilan keputusan secara implisit (tersirat) memilih suatu alternatif yang lebih disukai dari semua pilihan lain.
e) Model Intuitif
Suatu proses tak sadar yang diciptakan dari dalam pengalaman yang tersaring. Intuisi juga bergantung dari analisis rasional dan keduanya saling melengkapi.

15. Kesempatan
Kesempatan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990) didefinisikan sebagai peluang yang diperoleh/keleluasaan yang didapat oleh seseorang, untuk melaksanakan sejumlah kegiatan. Kesempatan berkinerja harus juga diperhitungkan untuk meramalkan kinerja karyawan karena betapapun seseorang termotivasi, bersedia dan mampu namun bila kesempatan menjadi kendala maka ia tidak akan sukses berprestasi/berkinerja yang tinggi. Oleh karena itu dalam menentukan orang yang tepat untuk diberi kesempatan manajemen harus menggunakan alat performance appraisal yaitu teknik untuk mendapat hasil yang lebih baik dari individu, kelompok atau organisasi, (Swasto, 1997: 9) dari Kempton (1995).

Karateristik Pekerjaan

Karateristik pekerjaan adalah segala aspek dari suatu pekerjaan yang menjelaskan sifat-sifat umum yang dicerminkan dalam persepsi oleh yang mengerjakannya (Swasto, 1997 :27).
Sujak (1990 :252-256), dengan mengutip pendapat Hackman dan Oldham mengungkapkan bahwa dalam pekerjaan perlu memperhatikan lima karateristik pekerjaan. Karateristik itu akan berpengaruh pada empat karateristik personal sehingga dapat memperluas kebutuhan pegawai yang tumbuh terus, untuk mempelajari pekerjaan baru dan yang terakhir dapat meningkatkan produktivitas kerjanya. Karateristik pekerjaan itu dimaksud adalah variasi kecakapan, identitas tugas, signifikansi tugas, otonomi dan balikan.

Rangkaian dimensi dari pekerjaan jika dihubungkan dengan keadaan psikologi, akan dapat memberikan hasil antara lain: motivasi kerja intern yang tinggi, prestasi kerja yang berkualitas tinggi, kepuasan kerja yang tinggi dan kemangkiran serta pertukaran kerja yang rendah.
Adapun keadaan psikologis menunjuk pada pekerja yang dapat mencapai tiga keadaan psikologis yang kritis yaitu sebagai berikut:
1) Pekerja harus menghayati pekerjaan sebagai sesuatu yang berarti atau penting.
2) Pekerja harus bertanggung jawab atas hasil pekerjaannya dan atas produk yang diusahakannya secara pribadi.
3) Pekerja harus dapat memastikan dengan cara yang teratur dan handal bagaimana hasil usahanya, apa yang telah dicapai dan memuaskan atau tidak, Schein (1991 : 105-106) dalam Sudjak (1990 : 255)

Selanjutnya sejauh mana tingkat hubungan antar dimensi pekerjaan, keadaan psikologis kritis dan hasil pekerjaan akan dipatuhi maka menurut teori, dilunakan oleh tiga faktor tambahan, (Schein, 1991 : 106 ) dalam Sudjak (1990 : 255) yaitu :
1) Tingkat seberapa besar pekerja mempunyai keterampilan yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan.
2) Tingkat sejauh mana pekerjaan itu dimotivasi oleh kebutuhan untuk tumbuh dan melihat pekerjaan sebagai suatu yang menghasilkan pertumbuhan.
3) Tingkat sejauh mana pekerjaan merasa puas dengan faktor kontekstual, mencakup organisasi formal dan informal.

Berdasarkan beberapa keterangan di atas maka karateristik pekerjaan diupayakan dapat memberikan kepuasan kerja. Kepuasan kerja yang tinggi merupakan salah satu pendorong bagi individu untuk meningkatkan kesediaannya ikut aktif di dalam organisasi. Dengan adanya kepuasan akan menghindari kemangkiran dan keinginan pekerja untuk keluar dari organisasi.
Siagian, (1992 : 297) dalam Sudjak (1990) mengatakan bahwa dari berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli serta pengalaman banyak organisasi terlihat bahwa terdapat korelasi kuat antara kepuasan kerja dengan tingkat kemangkiran. Artinya telah terbukti bahwa karyawan yang tinggi tingkat kepuasannya akan rendah tingkat kemangkirannya. Sebaliknya karyawan yang rendah tingkat kepuasannya cenderung tinggi tingkat kemangkirannya. Dengan demikian salah satu cara paling efektif untuk mengurangi tingkat kemangkiran karyawan ialah meningkatkan kepuasan kerja. Karyawan yang mempunyai tingkat kepuasan tinggi akan selalu hadir di tempat kerjanya kecuali ada alasan yang benar-benar membuatnya tidak masuk kerja. Sedangkan karyawan yang tingkat kepuasannya rendah akan berusaha mencari alasan untuk tidak masuk kerja.

Selanjutnya kata Siagian bahwa salah satu faktor penyebab timbulnya keinginan pindah kerja adalah ketidakpuasan pada tempat bekerja, jadi terdapat korelasi antara tingkat kepuasan kerja dengan kuat atau lemahnya keinginan pindah pekerjaan.
Oleh karena itu untuk menghindari kemangkiran dan perpindahan pekerja dari organisasi, perlu ditingkatkan kepuasan kerja pada pekerjaan yang diberikan kepadanya.
Berdasarkan pendapat di atas, maka karateristik pekerjaan merupakan dimensi inti dalam melakukan reorganisasi pekerjaan. Karateristik pekerjaan yang dimaksud dalam penelitian ini meliputi beberapa faktor sebagaimana di bawah ini:
1. Ragam keterampilan, identitas tugas, dan arti tugas.
1.a. Ragam keterampilan
Ragam keterampilan menunjukkan bahwa aneka pekerjaan menuntut adanya keterampilan yang bermacam-macam. Robbins, (1996 : 181), menyatakan bahwa karyawan cenderung menyukai pekerjaan-pekerjaan yang memberi mereka kesempatan untuk menggunakan keterampilan dan kemampuan mereka dan menawarkan beragam tugas, keabsahan dan umpan balik mengenai betapa sebaiknya dikerjakan. Karateristik inilah yang membuat pekerjaan menantang. Pekerjaan yang kurang menantang kurang menciptakan kebosanan tetapi pekerjaan yang terlalu banyak menantang menciptakan frustasi dan kegagalan. Pada kondisi sedang kebanyakan karyawan akan mengalami kesengan dan kepuasan.

1.b. Identitas Tugas
Identita tugas menurut Schein (1983 : 106) dalam Sudjak, (1990) merupakan suatu tingkat dalam pekerjaan yang mengharuskan penyelesaian pekerjaan yang nyata, melaksanakan suatu pekerjaan dari awal hingga akhir dengan hasil nyata. Identitas tugas membantu memperkuat serta meningkatkan komitmen karyawan pada organisasi dengan diketahui sejauh mana karyawan melaksanakan seluruh pekerjaan secara utuh dan dapat diidentifikasi hasil-hasil usaha mereka, sehingga pekerjaan tersebut benar-benar dapat dihayati dan menimbulkan kebetahan karyawan pada pekerjaannya.

1.c Arti Tugas
Arti tugas menurut Schein (1983 :106) dalam Sudjak (1990) merupakan tingkatan dalam pekerjaan yang mempunyai dampak besar atas kehidupan orang lain baik dalam organisasi maupun di luar organisasi. Arti tugas dapat digunakan untuk mengetahui sejauhmana sebuah pekerjaan menuntut pada gilirannnya akan memperkuat komitmen karyawan terhadap organisasi.

2. Otonomi
Otonomi menurut Schein (1983 : 170) dalam Sudjak (1990) merupakan suatu tingkat dalam pekerjaan yang memberikan pekerja kebebasan, kemandirian dan kebijaksanaan penjadwalan pekerjaan dan menentukan pekerjaan harus dilaksanakan.
Menurut Robbins, (1996 : 170) dengan tingkat keterlibatan kerja yang tinggi ada kecenderungan rendahnya tingkat absensi dan permohonan berhenti dari pekerjaannya.
Dengan otonomi berarti seseorang pegawai memperoleh kebebasan/berwewenang mengatur waktu kerja, menetapkan prosedur penyelesaian pekerjaan dan karena keterlibatan kerja yang tinggi itu tumbuhlah rasa tanggung jawab terhadap hasil kerjanya.

3. Umpan Balik
Umpan balik merupakan tingkat dimana pekerja mendapatkan informasi mengenai efektif usahanya serta pengetahuan tentang pelaksanaan tugas dan hasil kerja atau kinerja dari suatu pekerjaan yang dilakukan. Umpan balik akan meningkatkan kesertaan pegawai pada organisasi karena dengan umpan balik karyawan menerima informasi yang mengungkapkan prestasinya sehingga paling tidak akan meningkatkan kepuasan karyawan atas hasil kerjanya.

Karateristik Organisasi

Karateristik organisasi ialah norma-norma organisasi yang akan mempengaruhi tindakan pegawai dann kesadarannya dalam aktivitas sehari-hari saat bekerja, Swasto, (1997 : 27)
Karateristik organisasi meliputi : kebijaksanaan organisasi, kultur, gaya kepemimpinan, program pengembangan karier dan sistem kompensasi. Karateristik tersebut mempengaruhi pegawai untuk memotivasi karier mereka.
1. Kultur dan Kerjasama
Menurut Swasto (1996), dengan mengutip antara lain dari Stoner (1986 : 426-427), salah satu dari item karakter lingkungan kerja (organisasi) adalah kultur organisasi. Menurut Swasto (1996 : 22-23) mengutip dari Nadler (1986 : 264), kultur didefinisikan sebagai kebiasan dan budaya yang dikembangkan orang untuk mengadakan perubahan. Suatu kultur dimanefastasikan ke dalam tingkah laku yang dapat diamati. Kultur tidak berada dalam fikiran seseorang tetapi dalam tindakan nyata. Namun bukan berarti semua tindakan pegawai dalam organisasi merupakan kultur melainkan cara bertindak para pegawai itu akan mewarnai suatu kultur.
Pendapat Swasto (1990 : 24) mengutip dari Mathieu (1992 : 831), individu yang mempunyai keterlibatan yang tinggi dalam pekerjaan akan menilai terhadap imbalan atas suatu pekerjaan dan mengkaitkannya dengan pelatihan yang baik; ada hubungan positif antara keterlibatan dalam pekerjaan dan valensi terhadap motivasi latihan. Individu yang mempunyai tingkat pilihan yang tinggi menunjukkan tingkat kepuasan yang lebih tinggi untuk belajar, lebih bereaksi positif dan mempunyai kinerja yang lebih baik daripada yang mempunyai tingkat pilihan kriteria latihan yang rendah. Sedangkan persepsi lingkungan kerja juga berhubungan dengan motivasi peserta latihan untuk belajar. Individu dengan tingkat perencanaan karier dan keterlibatan pekerjaan tinggi juga akan mempunyai motivasi latihan yang tinggi.
Swasto (1990 :24) mengutip dari Nimran (1989 : 51-69) mengkaitkan karateristik kantor dan perbedaan individual dengan pengalaman, ruang kerja, peranan stress dan lingkungan pembuat stress serta hubungan interpersonal.
Sudjak (1990 : 369-370), dengan mengutip dari Gerald Graham mendefinsikan kultur organisasi adalah norma, keyakinan, sikap dan filosofi organisasi. Berarti orang dalam organisasi itu dapat membentuk suatu kultur dan menjadi peran sentral. Namun demikian kultur dapat pula dibentuk dari cara pengelolaan, pemahaman anggota organisasi terhadap misi organisasi dan pengembangan sikap anggota organisasi dalam rangka pencapaian misi organisasi. Jadi kultur bukannya kenyataan yang muncul dengan sendirinya melainkan dapat ditanamkan dan dikembangkan secara turun menurun dalam kehidupan organisasi tetapi dapat berubah sesuai dengan kemauan politis (political wiil) dari seorang pimpinan yang menghendaki perubahan nilai yang lebih sehat dan efektif.
Dikaitkan dengan posisi manajer sebagai pengambilan keputusan (decission maker) maka manajer dapat berperan sebagai pengembang maupun sebagai pembaharu suatu kultur.
Kerjasama, kemampuan pegawai untuk melaksanakan pekerjaan secara bersama-sama dengan orang lain. Sunvariabel ini dapat diukur melalui: kemampuan menserasikan tugas-tugas orang lain; kemampuan menghargai pendapat orang lain; dn kemampuan beradaptasi.

2. Kepemimpinan dan gaya kepemimpinan
Kepemimpinan adalah kemampuan menggerakkan dan mengarahkan suatu tindakan pada diri seseorang atau kelompok orang untuk mencapai tujuan tertentu pada situasi tertentu. Dalam hal ini posisi manajer merupakan posisi kunci yang menyelaraskan proses kerjasama antara manusia dalam organisasinya. Kepemimpinan seseorang amat dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang berbeda-beda namun keterampilan kepemimpinan umumnya terdiri dari :
2.a. Pemberian Kuasa (empowerment) yaitu, pembagian kewenangan oleh pimpinan terhadap bawahannya antara lain dalam menetapkan tujuan dan perencanaan.
2.b. Intuisi (intuition) yaitu keterlibatan manajer dalam menatap situasi, mengantisipasi perubahan, mengambil resiko dan membangun kejujuran.
2.c. Pemahaman diri (self understanding) yaitu, kemampuan mengenali kekuatan diri yang positif dan kemampuan mengatasi kelemahannya.
2.d. Pandangan (vision) yaitu keterlibatan manajer dalam mengimajinasikan kondisi lingkungan yang berbeda-beda dan mengimajinasikan suatu kondisi untuk memperbaiki lingkungan organisasi.
2.e Nilai Keselarasan (congruece value) yaitu kemampuan manajer untuk memahami nilai-nilai yang berkembang dalam organisasi dan memadukannya dengan nilai-nilai yang dimiliki bawahannya untuk mencapai efektifitas organisasi.

Kepemimpinan yang efektif menurut Robert House dalam Sudjak (1990 : 18) melibatkan “penyeleksian gaya” yang paling sesuai dengan variabel situasional tertentu. Gaya kepemimpinan yang mendominasi perilaku pemimpin ada empat macam yaitu:
a) Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada prestasi (achievement oriented leadership) cirinya ialah pemimpin menetapkan tujuan yang bersifat menantang dengan harapan bawahan termotivasi dan akan berusaha mencapai tujuan itu dengan upaya yang maksimal selani itu pimpinan menaruh kepercayaan bahwa bawahan akan memenuhi tuntutan pimpinannya. Gaya ini dapat diterapkan pada bawahan dalam mengerjakan tugas rutin yang sederhana maupun yang sulit melalui pemberian motivasi, dorongan semangat dan penanaman rasa percaya diri.
b) Gaya kepemimpinan direktif (directive leadership) cirinya ialah pemimpim memberi kesempatan kepada bawahan untuk mengetahui apa yang menjadi harapan pimpinan dan bagaimana mencapai keinginan itu. Jadi pimpinan berorientasi pada hasil kerja. Gaya ini dapat diterapkan bila bawahan menghadapi tugas yang kompleks dan pelik yaitu dengan pemberian petunjuk yang mengurangi tingkat kesulitan yang ada dan membantu memudahkan penyelesain tugas serta tercapainya tujuan.
c) Gaya kepemimpinan partisipatif (participative leadership) dengan ciri kepemimpinan berkonsultasi dengan bawahannya dan bertanya untuk mendapatkan masukan dan saran-saran dalam rangka pengambilan keputusan. Gaya ini dapat diterapkan apabila pimpinan membutuhkan informasi yang diperlukan dalam rangka pengambilan keputusan maupun pada saat para bawahan menghadapi tugas-tugas yang rutin dan rumit.
d) Gaya kepemimpinan suportif (suportive leadership) dengan ciri pemimpin berusaha mendekatkan diri dan bersikap ramah serta menyenangkan bawahanya. Gaya ini efektif diterapkan pada bawahan yang tinggal menerima paket kerja, bawahan yang bersifat reseptif terhadap keputusan atasan serta tidak diikutsertakan dalam penentuan kegiatan.

3. Kebijaksanaan organisasi
Kebijaksanaan ialah pedoman untuk bertindak (Solichin, 1995), kebijaksanaan ialah peraturan yang dipedomani untuk melaksanakan tugas pekerjaan (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1990). Kebijaksanaan terdiri dari : prosedur staffing, prosedur kerja, disain pekerjaan, sistem penggajian dan pemberian penghargaan serta program pengembangan pegawai dan pelatihan.
a) Prosedur staffing ialah langkah-langkah kegiatan untuk pembagian tugas pekerjaan.
b) Prosedur kerja ialah langkah kegiatan untuk penyelesaian pekerjaan.
c) Disain pekerjaan ialah rancangan tentang pekerjaan, pengayaan atau penambahan jenis atau penganeka—ragaman pekerjaan, spesialisasi pekerjaan, rotasi dan jadwal waktu kerja yang fleksibel.
d) Sistem penggajian dan pemberian penghargaan ialah pengaturan pemberian gaji dan penghargaan lainnya.
e) Program pengembangan karier pegawai di masa yang akan datang baik melalui pendidikan dan pelatihan, promosi maupun pembentukan badan penilaian kualitas produktivitas pegawai.

Setelah membahas berbagai teori tentang motivasi, akhirnya penulis berkesimpulan bahwa :
Pertama motivasi muncul karena adanya rangsangan kebutuhan yang harus dicukupi dalam waktu tertentu oleh seseorang. Dalam hal ini penulis ini sependapat dengan teori Hirarchi kebutuhan dari A.H. Maslow mengenai kebutuhan yang bersifat fisiologis antara lain berupa makanan dan minuman; kebutuhan akan kebebasan dan ancaman yakni aman dari ancaman kejadian atau lingkungan (safety); kebutuhan adanya rasa memiliki (belongingness), rasa sosial dan rasa cinta (love) antara lain kebutuhan berteman, afiliasi, interaksi dan cinta. Selain itu kebutuhan penghargaan diri dan penghargaan dari orang lain (esteem) serta kebutuhan realisasi diri (self actualization) yaitu kebutuhan untuk memenuhi diri sendiri dengan menggunakan kemampuan maksimum, keterampilan dan potensi diri.

Kedua penulis juga sependapat dengan MC Clelland, bahwa kebutuhan manusia ada 3 macam yaitu kebutuhan akan prestasi (need for achievment = nAch) atau kebutuhan akan kekuasaan (need for power = nPow) dan kebutuhan akan berafiliasi dengan orang lain (need for affiliation = nAff).
Mengingat kebutuhan merupakan suatu kekurangan yang dirasakan tiap manusia dalam kurun waktu tertentu dan harus dipenuhi maka kebutuhan inilah yang mendorong (memotivasi) manusia untuk berperilaku (berupaya) memenuhi kebutuhanya atau mencapai tujuan sebagai hasil kerja/upayanya tadi.

Ditinjau dari asalnya maka motivasi ada 2 macam yang bersumber dari dalam diri manusia (motivasi intrinsik) dimana kebutuhan ini umumnya diperoleh dari kebudayaan dan dapat dipelajari (learned need for theory) melalui pendidikan dan pelatihan yang akan meningkatkan pengalaman kecakapan dan keterampilan. Dalam hal ini penulis sependapat dengan MC Clelland, bahwa motivasi adalah kebutuhan “bawaan” yaitu berasal dari dalam diri individu itu sendiri yang berpengaruh pada perilaku/penampilan kerjanya. Kecuali itu, terdapat motivasi dari luar diri manusia (motivasi ekstrinsik), yaitu kebutuhan yang diperoleh dari organisasi berupa imbalan yang diterima atas kerjanya berupa: kenaikan gaji, penghargaan promosi dan lainnya, dimana imbalan ini merupakan harapan yang dapat memotivasi seseorang untuk berpenampilan sebaik-baiknya

Terjadinya konflik dalam setiap organisasi merupakan sesuatu hal yang tidak dapat dihindarkan. Hal ini terjadi karena di satu sisi orang-orang yang terlibat dalam organisasi mempunyai karakter, tujuan, visi, maupun gaya yang berbedabeda. Di sisi lain adanya saling ketergantungan antara satu dengan yang lain yang menjadi karakter setiap organisasi. Tidak semua konflik merugikan organisasi. Konflik yang ditata dan dikendalikan dengan baik dapat menguntungkan organisasi sebagai suatu kesatuan. Dalam menata konflik dalam organisasi diperlukan keterbukaan, kesabaran serta kesadaran semua fihak yang terlibat maupun yang berkepentingan dengan konflik yang terjadi dalam organisasi.

PENGERTIAN KONFLIK

Konflik adalah pergesekan atau friksi yang terekspresikan di antara dua pihak atau lebih, di mana masing-masing mempersepsi adanya interferensi dari pihak lain, yang dianggap menghalangi jalan untuk mencapai sasaran. Konflik hanya terjadi bila semua pihak yang terlibat, mencium adanya ketidaksepakatan Para pakar ilmu perilaku organisasi, memang banyak yang memberikan definisi tentang konflik. Robbins, salah seorang dari mereka merumuskan Konflik sebagai : “sebuah proses dimana sebuah upaya sengaja dilakukan oleh seseorang untuk menghalangi usaha yang dilakukan oleh orang lain dalam berbagai bentuk hambatan (blocking) yang menjadikan orang lain tersebut merasa frustasi dalam usahanya mancapai tujuan yang diinginkan atau merealisasi minatnya”. Dengan demikian yang dimaksud dengan Konflik adalah proses pertikaian yang terjadi sedangkan peristiwa yang berupa gejolak dan sejenisnya adalah salah satu manifestasinya. Dua orang pakar penulis dari Amerika Serikat yaitu, Cathy A Constantino, dan Chistina Sickles Merchant mengatakan dengan kata-kata yang lebih sederhana, bahwa konflik pada dasarnya adalah: “sebuah proses mengekspresikan ketidapuasan, ketidaksetujuan, atau harapan-harapan yang tidak terealisasi”. Kedua penulis tersebut sepakat dengan Robbins bahwa konflik pada dasarnya adalah sebuah proses. Konflik dapat diartikan sebagai ketidaksetujuan antara dua atau lebih anggota organisasi atau kelompok-kelompok dalam organisasi yang timbul karena mereka harus menggunakan sumber daya yang langka secara bersama-sama atau menjalankan kegiatan bersama-sama dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan, nilai-nilai dan persepsi yang berbeda. Anggota-anggota organisasi yang mengalami ketidaksepakatan tersebut biasanya mencoba menjelaskan duduk persoalannya dari pandangan mereka Lebih jauh Robbins menulis bahwa sebuah konflik harus dianggap sebagai “ada” oleh fihak-fihak yang terlibat dalam konflik. Dengan demikian apakah konflik itu ada atau tidak ada, adalah masalah “persepsi” dan bila tidak ada seorangpun yang menyadari bahwa ada konflik, maka dapat dianggap bahwa konflik tersebut memang tidak ada. Tentu saja ada konflik yang hanya dibayangkan ada sebagai sebuah persepsi ternyata tidak riil. Sebaliknya dapat terjadi bahwa ada situasi-situasi yang sebenarnya dapat dianggap sebagai “bernuansa konflik” ternyata tidak dianggap sebagai konflik karena nggota-anggota kelompok tidak menganggapnya sebagai konflik. Selanjutnya, setiap kita membahas konflik dalam organisasi kita, konflik selalu diasosiasikan dengan antara lain, “oposisi” (lawan), “kelangkaan”, dan “blokade”. Diasumsikan pula bahwa ada dua fihak atau lebih yang tujuan atau kepentingannya tidak saling menunjang. Kita semua mengetahui pula bahwa sumberdaya dana, daya reputasi, kekuasaan, dan lain-lain, dalam kehidupan dan dalam organisasi tersedianya terbatas. Setiap orang, setiap kelompok atau setiap unit dalam organisasi akan berusaha memperoleh semberdaya tersebut secukupnya dan kelangkaan tersebut akan mendorong perilaku yang bersifat menghalangi oleh setiap pihak yang punya kepentingan yang sama. Fihak-fihak tersebut kemudian bertindak sebagai oposisi terhadap satu sama lain. Bila ini terjadi, maka status dari situasi dapat disebut berada dalam kondisi “konflik”.

MANIFESTASI KONFLIK

Konflik yang terjadi dalam masyarakat atau dalam sebuah organisasi dapat bermanifestasi dalam berbagai bentuk atau cara : Perselisihan (Dispute): bagi kebanyakan orang awam, kata konflik biasanya diasosiasikan dengan “dispute” yaitu “perselisihan” tetapi, dalam konteks ilmu perilaku organisasi, “perselisihan” sebenarnya sudah merupakan salah satu dari banyak bentuk produk dari konflik. Dispute atau perselisihan adalah salah satu produk konflik yang paling mudah terlihat dan dapat berbentuk protes (grievances), tindakan indispliner, keluhan (complaints), unjuk rasa ramai-ramai , tindakan pemaksaan (pemblokiran, penyanderaan, dsb.), tuntutan ataupun masih bersifat ancaman atau pemogokan baik antara fihak internal organisasi ataupun dengan fihak luar adalah tanda-tanda konflik yang tidak terselesaikan. Kompetisi (persaingan) yang tidak sehat. Persaingan sebenarnya tidak sama dengan konflik. Persaingan seperti misalnya dalam pertandingan atletik mengikuti aturan main yang jelas dan ketat. Semua pihak yang bersaing berusaha memperoleh apa yang diinginkan tanpa di jegal oleh pihak lain. Adanya persaingan yang sangat keras dengan wasit yang tegas dan adil, yang dapat menjurus kepada perilaku dan tindakan yang bersifat menjegal yang lain. Sabotase adalah salah satu bentuk produk konflik yang tidak dapat diduga sebelumnya. Sabotase seringkali digunakan dalam permainan politik dalam internal organisasi atau dengan pihak eksternal yang dapat menjebak pihak lain. Misalnya saja satu pihak mengatakan tidak apa-apa, tidak mengeluh, tetapi tibatiba mengajukan tuntutan ganti rugi miliaran rupiah melalui pengadilan. Insfisiensi/produktivitas yang rendah. Apa yang terjadi adalah salah satu fihak (biasanya fihak pekerja) dengan sengaja melakukan tindakan-tindakan yang berakibat menurunkan produktivitas dengan cara memperlambat kerja (slowdown), mengurangi output, melambatkan pengiriman, dll. Ini adalah salah satu dari bentuk konflik yang tersembunyi (hidden conflic) dimana salah satu fihak menunjukan sikapnya secara tidak terbuka. Penurunan moril (low morale). Penurunan moril dicerminkan dalam menurunnya gairah kerja, meningkatnya tingkat kemangkiran, sakit, penurunan moril adalah juga merupakan salah satu dari produk konflik tersembunyi dalam situasi ini salah satu fihak, biasanya pekerja, merasa takut untuk secara terang-terangan untuk memprotes fihak lain sehingga elakukan tindakan-tindakan tersembunyi pula. Menahan/menyembunyikan informasi. Dalam banyak organisasi informasi adalah salah satu sumberdaya yang sangat penting dan identik dengan kekuasaan (power). Dengan demikian maka penahanan/penyembunyian informasi adalah identik dengan kemampuan mengendalikan kekuasaan tersebut. tindakantindakan seperti ini menunjukkan adanya konflik tersembunyi dan ketidak percayaan (distrust).

MACAM KONFLIK

1. Dari segi fihak yang terlibat dalam konflik

1) Konflik individu dengan individu Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan individu pimpinan dari berbagai tingkatan. Individu pimpinan dengan individu karyawan maupun antara inbdividu karyawan dengan individu karyawan lainnya.

2) Konflik individu dengan kelompok Konflik semacam ini dapat terjadi antara individu pimpinan dengan kelompok ataupun antara individu karyawan dengan kempok pimpinan.

3) Konflik kelompok dengan kelompok Ini bisa terjadi antara kelompok pimpinan dengan kelompok karyawan, kelompok pimpinan dengan kelompok pimpinan yang lain dalam berbagai tingkatan maupun antara kelompok karyawan dengan kelompok karyawan yang lain.

2. Dari segi dampak yang timbul

Dari segi dampak yang timbul, konflik dapat dibedakan menjadi dua, yaitu konflik fungsional dan konflik infungsional. Konflik dikatakan fungsional apabila dampaknya dapat memberi manfaat atau keuntungan bagi organisasi, sebaliknya disebut infungsional apabila dampaknya justru merugikan organisasi. Konflik dapat menjadi fungsional apabila dikelola dan dikendalikan dengan baik. Contoh konflik yang fungsional dengan kasus seorang manajer perusahaan yang menghadapi masalah tentang bagaimana mengalokasikan dana untuk meningkatkan penjualan masing-masing jenis produk. Pada saat itu setiap produk line berada pada suatu devisi. Salah satu cara pengalokasian mungkin dengan memberikan dana tersebut kepada devisi yang bisa mengelola dana dengan efektif dan efisien. Jadi devisi yang kurang produktif tidak akan memperoleh dana tersebut. Tentu saja di sini timbul konflik tentang pengalokasian dana. Meskipun dipandang dari fihak devisi yang menerima alokasi dana yang kurang, konflik ini dipandang infungsional, tetapi dipandang dari perusahaan secara keseluruhan konflik ini adalah fungsional, karena akan mendorong setiap devisi untuk lebih produktif.

Manfaat yang mungkin timbul dari contoh kasus di atas antara lain : (1) Para manajer akan menemukan cara yang lebih efisien dalam menggunakan dana (2) Mereka mungkin bisa menemukan cara untuk menghemat biaya (3) Mereka meningkatkan prestasi masing-masing devisi secara keseluruhan sehingga bisa tersedia dana yang lebih besar untuk mereka semua. Meskipun demikian, mungkin juga timbul akibat yang tidak fungsional, di mana kerjasama antara kepala devisi menjadi rusak karena konflik ini. Setiap konflik, baik fungsional maupun infungsional akan menjadi sangat merusak apabila berlangsung terlalu jauh. Apabila konflik menjadi di luar kendali karena mengalami eskalasi, berbagai perilaku mungkin saja timbul. Pihak-pihak yang bertentangan akan saling mencurigai dan bersikap sinis terhadap setiap tindakan pihak lain. Dengan timbulnya kecurigaan, masing-masing pihak akan menuntut permintaan yang makin berlebihan dari pihak lain. Setiap kegagalan untuk mencapai hal yang diinginkan akan dicari kambing hitam dari pihak lain dan perilaku pihaknya sendiri akan selalu dibela dan dicarikan pembenarannya, bahkan dengan cara yang emosional dan tidak rasional. Pada tahap seperti ini informasi akan ditahan dan diganggu, sehingga apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa terjadi menjadi tidak diketahui. Dan segera bisa muncul usaha untuk menggagalkan kegiatan yang dilakukan oleh pihak lain. Kegiatan untuk “menang” menjadi lebih dominan dari pada untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut Heidjrachman dari berbagai penelitian dan percobaan ternyata ditemukan hasil-hasil yang mirip antara yang satu dengan yang lain situasi, yang timbul akibat adanya konflik, baik konflik yang fungsional maupun konflik yang infungsional.

Di antaranya yang penting adalah :

(1)Timbulnya kekompakan di antara anggota-anggota kelompok yang mempunyai konflik dengan kelompok yang lain;

(2) Munculnya para pimpinan dari kelompok yang mengalami konflik;

(3) Ada gangguan terhadap persepsi para anggota atau kelompok yang mengalami konflik;

(4) Perbedaan antara kelompok yang mengalami konflik nampak lebih besar dari pada yang sebenarnya, sedangkan perbedaan pendapat antar individu dalam masing-masing kelompok tampak lebih kecil dari pada yang sebenanya;

(5) Terpilihnya “wakil-wakil” yang kuat dari pihak-pihak yang mengalami konflik;

(6) Timbulnya ketidakmampuan untuk berfikir dan menganalisa permasalahan secara jernih.

SUMBER KONFLIK

Faktor-faktor yang dapat menimbulkan adanya konflik dalam suatu organisasi antara lain adalah :

1) Berbagai sumber daya yang langka Karena sumber daya yang dimiliki organisasi terbatas / langka maka perlu dialokasikan. Dalam alokasi sumber daya tersebut suatu kelompok mungkin menerima kurang dari kelompok yang lain. Hal ini dapat menjadi sumber konflik.

2) Perbedaan dalam tujuan Dalam suatu organisasi biasanya terdiri dari atas berbagai macam bagian yang bisa mempunyai tujuan yang berbeda-beda. Perbedaan tujuan dari berbagai bagian ini kalau kurang adanya koordinasi dapat menimbulkan adanya konflik. Sebagai contoh : bagian penjualan mungkin ingin meningkatkan valume penjualan dengan memberikan persyaratanpersyaratan pembelian yang lunak, seperti kredit dengan bunga rendah, jangka waktu yang lebih lama, seleksi calon pembeli yang tidak terlalu ketat dan sebagainya. Upaya yang dilakukan oleh bagian penjualan semacam ini mungkin akan mengakibatkan peningkatan jumlah piutang dalam tingkat yang cukup tinggi. Apabila hal ini dipandang dari sudut keuangan, mungkin tidak dikehendaki karena akan memerlukan tambahan dana yang cukup besar.

2) Saling ketergantungan dalam menjalankan pekerjaan Organisasi merupakan gabungan dari berbagai bagian yang saling berinteraksi. Akibatnya kegiatan satu pihak mungkin dapat merugikan pihak lain. Dan ini merupakan sumber konflik pula. Sebagai contoh : bagian akademik telah membuat jadwal ujian beserta pengawanya, setapi bagian tata usaha terlambat menyampaikan surat pemberitahuan kepada para pengawas dan penguji sehingga mengakibatkan terganggunya pelaksanaan ujian.

3) Perbedaan dalam nilai atau persepsI Perbedaan dalam tujuan biasanya dibarengi dengan perbedaan dalam sikap, nilai dan persepsi yang bisa mengarah ke timbulnya konflik. Sebagai contoh : seorang pimpinan muda mungkin merasa tidak senang sewaktu diberi tugastugas rutin karena dianggap kurang menantang kreativitasnya untuk berkembang, sementara pimpinan yang lebih senior merasa bahwa tugastugas rutin tersebut merupakan bagian dari pelatihan.

4) Sebab-sebab lain Selain sebab-sebab di atas, sebab-sebab lain yang mungkin dapat menimbulkan konflik dalam organisasi misalnya gaya seseorang dalam bekerja, ketidakjelasan organisasi dan masalah-masalah komunikasi.

MANAJEMEN KONFLIK YANG EFEKTIF

Manajemen konflik dimaksudkan sebagai sebuah proses terpadu (intergrated) menyeluruh untuk menetapkan tujuan organisasi dalam penanganan konflik, menetapkan cara-cara mencegahnya program-program dan tindakan sebagai tersebut maka dapat ditekankan empat hal :

1) Manajemen konflik sangat terkait dengan visi, strategi dan sistem nilai/kultur organisasi manajemen konflik yang diterapkan akan terkait erat dengan ketiga hal tersebut

2) Menajemen konflik bersifat proaktif dan menekankan pada usaha pencegahan. Bila fokus perhatian hanya ditujukan pada pencarian solusisolusi untuk setiap konflik yang muncul, maka usaha itu adalah usaha penanganan konflik, bukan manajemen konflik.

3) Sistem manajemen konflik harus bersifat menyeluruh (corporate wide) dan mengingat semua jajaran dalam organisasi. Adalah sia-sia bila sistem manajemen konflik yang diterapkan hanya untuk bidang Sumberdaya Manusia saja misalnya.

4) Semua rencana tindakan dan program-program dalam sistem manajemen konflik juga akan bersifat pencegahan dan bila perlu penanganan. Dengan demikian maka semua program akan mencakup edukasi, pelatihan dan program sosialisasi lainnya.

Metode yang sering digunakan untuk menangani konflik adalah :  1) Metode pengurangan konflik. Salah satu cara yang sering efektif adalah dengan mendinginkan persoalan terlebih dahulu (cooling thing down). Meskipun demikian cara semacam ini sebenarnya belum menyentuh persoalan yang sebenarnya. Cara lain adalah dengan membuat “musuh bersama”, sehingga para anggota di dalam kelompok tersebut bersatu untuk menghadapi “musuh” tersebut. Cara semacam ini sebenarnya juga hanya mengalihkan perhatian para anggota kelompok yang sedang mengalami konflik.

2) Metode penyelesaian konflik. Cara yang ditempuh adalah dengan mendominasi atau menekan, berkompromi dan penyelesaian masalah secara integratif. (1) Dominasi (Penekanan) Dominasi dan penekanan mempunyai persamaan makna, yaitu keduanya menekan konflik, dan bukan memecahkannya, dengan memaksanya “tenggelam” ke bawah permukaan dan mereka menciptakan situasi yang menang dan yang kalah. Pihak yang kalah biasanya terpaksa memberikan jalan kepada yang lebih tinggi kekuasaannya, menjadi kecewa dan dendam. Penekanan dan dominasi bisa dinyatakan dalam bentuk pemaksaan sampai dengan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak (voting). (2) Kompromi Melalui kompromi mencoba menyelesaikan konflik dengan menemukan dasar yang di tengah dari dua pihak yang berkonflik ( win-win solution ). Cara ini lebih memperkecil kemungkinan untuk munculnya permusuhan yang terpendam dari dua belah pihak yang berkonflik, karena tidak ada yang merasa menang maupun kalah. Meskipun demikian, dipandang dari pertimbangan organisasi pemecahan ini bukanlah cara yang terbaik, karena tidak membuat penyelesaian yang terbaik pula bagi organisasi, hanya untuk menyenangkan kedua belah pihak yang saling bertentangan atau berkonflik (3) Penyelesaian secara integratif Dengan menyelesaikan konflik secara integratif, konflik antar kelompok diubah menjadi situasi pemecahan persoalan bersama yang bisa dipecahkan dengan bantuan tehnik-tehnik pemecahan masalah (problem solving). Pihak-pihak yang bertentangan bersama-sama mencoba memecahkan masalahnya,dan bukan hanya mencoba menekan konflik atau berkompromi. Meskipun hal ini merupakan cara yang terbaik bagi organisasi, dalam prakteknya sering sulit tercapai secara memuaskan karena kurang adanya kemauan yang sunguh-sungguh dan jujur untuk memecahkan persoalan yang menimbulkan persoalan.

Untuk menjelaskan berbagai alternatif penyelesaian konflik dipandang dari sudut menang – kalah masing-masing pihak, ada empat kuadran manajemen konflik:

1) Kuadran Kalah-Kalah (Menghindari konflik) Kuadran keempat ini menjelaskan cara mengatasi konflik dengan menghindari konflik dan mengabaikan masalah yang timbul. Atau bisa berarti bahwa kedua belah pihak tidak sepakat untuk menyelesaikan konflik atau menemukan kesepakatan untuk mengatasi konflik tersebut. Kita tidak memaksakan keinginan kita dan sebaliknya tidak terlalu menginginkan sesuatu yang dimiliki atau dikuasai pihak lain. Cara ini sebetulnya hanya bisa kita lakukan untuk potensi konflik yang ringan dan tidak terlalu penting. Jadi agar tidak menjadi beban dalam pikiran atau kehidupan kita, sebaiknya memang setiap potensi konflik harus dapat segera diselesaikan.

2) Kuadran Menang-Kalah (Persaingan) Kuadran kedua ini memastikan bahwa kita memenangkan konflik dan pihak lain kalah. Biasanya kita menggunakan kekuasaan atau pengaruh kita untuk memastikan bahwa dalam konflik tersebut kita yang keluar sebagai pemenangnya. Biasanya pihak yang kalah akan lebih mempersiapkan diri dalam pertemuan berikutnya, sehingga terjadilah suatu suasana persaingan atau kompetisi di antara kedua pihak. Gaya penyelesaian konflik seperti ini sangat tidak mengenakkan bagi pihak yang merasa terpaksa harus berada dalam posisi kalah, sehingga sebaiknya hanya digunakan dalam keadaan terpaksa yang membutuhkan penyelesaian yang cepat dan tegas.

3) Kuadran Kalah-Menang (Mengakomodasi) Agak berbeda dengan kuadran kedua, kuadran ketiga yaitu kita kalah – mereka menang ini berarti kita berada dalam posisi mengalah atau mengakomodasi kepentingan pihak lain. Gaya ini kita gunakan untuk menghindari kesulitan atau masalah yang lebih besar. Gaya ini juga merupakan upaya untuk mengurangi tingkat ketegangan akibat dari konflik tersebut atau menciptakan perdamaian yang kita inginkan. Mengalah dalam hal ini bukan berarti kita kalah, tetapi kita menciptakan suasana untuk memungkinkan penyelesaian yang paripurna terhadap konflik yang timbul antara kedua pihak. Mengalah memiliki esensi kebesaran jiwa dan memberi kesempatan kepada pihak lain untuk juga mau mengakomodasi kepentingan kita sehingga selanjutnya kita bersama bisa menuju ke kuadran pertama.

4) Kuadran Menang-Menang (Kolaborasi) Kuadran pertama ini disebut dengan gaya manajemen konflik kolaborasi atau bekerja sama. Tujuan kita adalah mengatasi konflik dengan menciptakan penyelesaian melalui konsensus atau kesepakatan bersama yang mengikat semua pihak yang bertikai. Proses ini biasanya yang paling lama memakan waktu karena harus dapat mengakomodasi kedua kepentingan yang biasanya berada di kedua ujung ekstrim satu sama lainnya. Proses ini memerlukan komitmen yang besar dari kedua pihak untuk menyelesaikannya dan dapat menumbuhkan hubungan jangka panjang yang kokoh .

Secara sederhana proses ini dapat dijelaskan bahwa masing-masing pihak memahami dengan sepenuhnya keinginan atau tuntutan pihak lainnya dan berusaha dengan penuh komitmen untuk mencari titik temu kedua kepentingan tersebut.

MEMINIMALISIR KONFLIK DENGAN KOMUNIKASI EFEKTIF ” Tahukah Anda, bahwa bentuk dan macam komunikasi bisa memicu konflik? Tahukan Anda bahwa konflik sesungguhnya dipicu oleh kesalahan komunikasi? Bagaimanakah metode komunikasi bisa meminimalisir konflik”? Ada lima macam gaya komunikasi Anda yang bisa memicu konflik.

KOMUNIKASI NEGATIF

Anda pasti mengetahui bahwa ada orang atau pihak tertentu yang ‘secara alamiah’ berperilaku seperti Tom and Jerry. Perilaku seperti ini cenderung melekat secara konstan, karena sifatnya lebih menyerupai karakter diri dari pada penyakit yang harus disembuhkan. Apa yang pasti dari perilaku seperti ini, adalah efeknya yang buruk terhadap pihak lain. Karakter ini dapat menyedot dan menghabisi antusiasme, energi dan rasa percaya diri orang-orang sekitar. Apa yang dapat dilakukan dengan gejala ini, adalah mendorong orang yang bersangkutan untuk mengkonfrontir perilakunya sendiri. Dan ini, hanya dapat dilakukan jika orang-orang di sekitar bisa terlibat aktif dengan memberi masukan tentang perilaku dan karakter negatif itu. Secara teknis, pendekatan terbaik yang dapat dilakukan adalah melatih apa yang disebut dengan “I message”. Contoh pengungkapannya adalah sebagai berikut: “Saat SAYA mengutarakan suatu pendapat atau usulan, SAYA merasakan bahwa sikap negatif Anda membuat SAYA frustrasi, dan SAYA menemukan bahwa bekerjasama dengan Anda menjadi lebih sulit dari semestinya.” Orang yang berkarakter negatif, memiliki kecenderungan untuk mempersepsi segala sesuatu yang sampai di telinganya, apa yang bisa terlihat oleh matanya, sebagai bentuk-bentuk serangan. Sikap negatifnya, adalah bagian dari sistem survivalnya. “I message” dalam hal ini, adalah untuk meredam persepsi itu. Jika Anda merasa punya banyak “musuh”, karakter Anda mungkin harus dibenahi.

KOMUNIKASI BLAMING Masih ingat yang satu ini: “Litle-litle to me, Litle-litle to me.” Maksudnya, “Dikitdikit gua. Dikit-dikit gua. Inilah yang terjadi, pada korban dari orang yang memiliki kecenderungan komunikasi blaming. Ia cenderung menyalahkan — dan selalu menyalahkan orang-orang di sekitarnya. “I message” yang ditimpali dengan menciptakan lingkungan pembelajaran yang lebih baik, adalah cara terbaik untuk mengakalinya. Carilah isu utama dari sikap menyalahkan itu, tangani satu per satu, jangan sekaligus. Jika Anda sering melihat orang lain salah, mungkin Anda memang sering menyalahkan. Jika memang demikian, latihlah untuk selalu spesifik dan detil berkaitan dengan suatu kesalahan.

KOMUNIKASI SUPERIOR Anda mungkin boss. Waspadalah. Cara berkomunikasi ini dipenuhi dengan perintah, nasehat, dan pesan-pesan yang penuh moralitas. Semua itu memang diperlukan, akan tetapi jika setiap kalimat dan uraian yang keluar dari mulut melulu hanya tentang itu, maka kepekaan dari orang-orang sekitar akan menyusut jauh. Bahkan, komunikasi seperti ini akan membuat orang-orang di sekitar menjadi bosan. Mereka akan mengalami frustrasi, penolakan dan bahkan dalam tingkat tertentu akan memunculkan inspirasi untuk mensabotase. Sekali lagi, “I message” yang ditimpali dengan pendekatan asertif (emosi dan personal), bisa sangat membantu keadaan. Anda mungkin boss. Waspadalah. Cobalah untuk lebih asertif dan personal. Sering-seringlah mengobrol dengan bawahan.

KOMUNIKASI TIDAK JUJUR Seringkali, ketidakjujuran dalam berkomunikasi akan menciptakan “kegagalan mendengar”. Lebih dari itu, cara komunikasi ini akan menciptakan “kegagalan berempati”. Ciri-cirinya, apa yang dikomunikasikan hanyalah berbagai hal di sekitar masalah, dan bukan masalah itu sendiri. Ada juga ciri-ciri lain, akan tetapi bukan merupakan patokan utama, yaitu komunikatornya cenderung menggunakan kata-kata “Kita”. Padahal, maksud “kita” di sana tidak lebih dan tidak kurang adalah dirinya sendiri. Ada kecenderungan, komunikator yang demikian secara sengaja tidak menindaklanjuti perilaku yang tidak profesional, atau perilaku yang dapat merusak tim kerja, padahal bisa ditindaklanjuti. Semuanya itu, jelas akan mengarah pada tidak berfungsinya tim kerja. Untuk membenahinya, diperlukan sebuah suasana yang terbuka, jujur, saling menghormati, berhenti saling menyalahkan, saling mengganggu, dan menyediakan akses bagi setiap orang. Jika Anda sering bekerja dengan menyendiri, waspadai gaya komunikasi ini.

KOMUNIKASI SELEKTIF Komunikatornya dalam hal ini, sering berasumsi tentang apa yang perlu diketahui oleh orang lain. Ia tidak berfokus pada apa yang secara obyektif memang perlu diketahui orang lain. Perilaku ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk tetap memegang kekuasaan, mempertahankan status quo. Untuk membenahinya, diperlukan keterbukaan dan akses kepada setiap informasi yang penting.

KOMUNIKASI YANG TIDAK EFEKTIF Contoh-contoh cerminan komunikasi yang dapat mensabotase tim: (1) “Yang penting kerjaan gua beres.” Sikap ini akan memperlemah kekuatan dan kerjasama tim. (2) “Bukan gua yang salah kok.” Ini juga tidak sehat, sebab sama dengan mengatakan “Yang salah orang lain.” (3) “Kalo Dia yang salah ya biarin aja, toh bukan Gua.” Sikap ini juga tidak membantu tim.

Audit

Audit atau pemeriksaan dalam arti luas bermakna evaluasi terhadap suatu organisasi, sistem, proses, atau produk. Audit dilaksanakan oleh pihak yang kompeten, objektif, dan tidak memihak, yang disebut auditor. Tujuannya adalah untuk melakukan verifikasi bahwa subjek dari audit telah diselesaikan atau berjalan sesuai dengan standar, regulasi, dan praktik yang telah disetujui dan diterima.

 

 Jenis Auditor

 Auditor dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:

 

1. Auditor Pemerintah adalah auditor yang bertugas melakukan audit atas keuangan pada instansi-instansi pemerintah. Di Indonesia, auditor pemerintah dapat dibagi menjadi dua yaitu:

· Auditor Eksternal Pemerintah yang dilaksanakan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai perwujudan dari Pasal 23 ayat 5 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi untuk memeriksa tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan suatu Badan Pemeriksa Keuangan yang pengaturannya ditetapkan dengan undang-undang. Hasil Pemeriksaan itu diberitahukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Badan Pemeriksa Keuangan merupakan badan yang tidak tunduk kepada pemerintah, sehingga diharapkan dapat bersikap independen.

· Auditor Internal Pemerintah atau yang lebih dikenal sebagai Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah (APFP) yang dilaksanakan oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Inspektorat Jenderal Departemen/LPND, dan Badan Pengawasan Daerah.

2. Auditor Intern merupakan auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan oleh karenanya berstatus sebagai pegawai pada perusahaan tersebut. Tugas utamanya ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat dimana ia bekerja.

3. Auditor Independen atau Akuntan Publik adalah melakukan fungsi pengauditan atas laporan keuanganyang diterbitkan oleh perusahaan. Pengauditan ini dilakukan pada perusahaan terbuka, yaitu perusahaan yang go public, perusahaan-perusahaan besar dan juga perusahaan kecil serta organisasi-organisasi yang tidak bertujuan mencari laba. Praktik akuntan publik harus dilakukan melalui suatu Kantor Akuntan Publik (KAP).

Baca entri selengkapnya »


Blog Stats

  • 3.916.122 hits